Rabu, 11 September 2013

Optimasi Antihistamin

Antihistamin H1 yang lebih spesifik memperbaiki modalitas terapi.
 
Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1. 
 
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.
 
Penemuan modus operandi antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
 
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. 
 
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa  metabolit (desloratadine dan fexofenadine)  dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.
 
 
Anti alergi Plus Anti inflamasi
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
 
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa  menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor
 
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
 
 
Nasib Antihistamin H1 dalam Tubuh
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. 
 
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti  astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien yang menerima  ketokonazol, eritromisin, atau penghambat  microsomal oxygenase lainnya.
 
 Indikasi
        Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.
Table 1. Indikasi Generasi  Pertama yang Diakui FDA
Drug Name
Batas Usia
 
Indikasi
Kategori Kehamilan
 
Azatadine
> 12 tahun
PAR, SAR, CU
B
Azelastine
> 3 tahun
PAR, SAR, VR, AC
C
Brompheniramine
> 6 tahun
AR, HR Type 1
C
Chlorpheniramine
> 2 tahun
AR
B
Clemastine
> 6 tahun
PAR, SAR, CU
B
Cyproheptadine
> 2 tahun
PAR, SAR, CU
B
Dexchlorpheniramine
> 2 tahun
PAR, SAR, CU
B
Hydroxyzine
Bisa diberikan < 6 tahun
Pruritus, sedasi, analgesia, anti-emetik
C
Promethazine
> 2 years old
HR Type 1, Sedation, Motion sickness, Analgesia
C
Tripelennamine
> 1 bulan
PAR, SAR, CU
B
*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CU = chronic urticaria, HR Type 1 = hypersensitivity reaction type 1, AR = allergic rhinitis, VMR = vasomotor rhinitis, AC = allergic conjunctivitis
Table 2. Indikasi Antihistamin Generasi II & III yang diakui FDA
Nama Obat
Batas Usia
Indikasi
Kategori Kehamilan
Cetirizine
> 2 tahun
PAR, SAR, CIU
B
Fexofenadine
> 6 tahun
SAR, CIU
C
Loratadine
> 2 tahun
SAR, CIU
B
Desloratadine
> 12 tahun
PAR, SAR, CIU
C
*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CIU = chronic idiopathic urticaria








Kontraindikasi
       Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan  pasien tua. 
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural. 
 
Efek Samping
Antihistamin Generasi Pertama:
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat - drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4. Gastrointestinal - epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5. Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)
Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga):
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori** - mulut kering
4. Gastrointestinal** - nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
*Efek samping SSPsebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama. **Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi pertama.
 
Interaksi Obat
Precipitant Drug
Object Drug
Effect
Antihistamin
Alkohol, depresan SSP
Menambah efek depresan SSP dan efek lebih kecil pada antihistamin generasi kedua dan ketiga.
 
Antifungi Azole dan Antibiotik Makrolida :
azithromycin, clarithromycin, erythromycin, fluconazole, itraconazole, ketoconazole, miconazole
loratadine, desloratadine
Meningkatkan kadar plasma object drug
Cimetadine
loratadine
Meningkatkan kadar plasma object drug
Levodopa
promethazine
Menurunkan efek levodopa
MAOIs:
phenelzine, isocarboxazid, tranylcypromine
Antihistamin generasi pertama
 
Bisa memperlama dan memperkuat efek antikolinergik dan sedative antihistamin, sehingga bisa terjadi hipotensi dan efek samping ekstrapiramidal
 
Protease Inhibitors:
ritonavir, indinavir, saquinavir, nelfinavir
Antihistamin generasi pertama, loratadine
Meningkatkan kadar plasma object drug
Serotonin Reuptatke Inhibitors (SSRIs):
fluoxetine, fluvoxamine, nefazodone, paroxetine, sertraline
Antihistamin generasi pertama
 
 
Meningkatkan kadar plasma object drug

 
Efikasi Klinis
Table 5. Efikasi Antihistamin
Studi/Ind
ikasi (a)
Design studi
Jumlah Sampel
Grup Terapi
Lama (hari)
Penentuan efikasi
Hasil (b)
Meltzer, et al.( J Allergy Clin Immunol 1996;97(2):617-626)
SAR
Studi acak, double blind, Alergi musim semi, outdoor.
279
-Cet 10 mg /hari
-Lor 10 mg /hari
-Pla /hari
2
Skor lengkap gejala utama dan total pada pasien.
Cet > Lor = Pla
Prenner, et al.( Clin Ther 2000;22(6):760-769)
SAR
Acak, double blind, 2 fase,  crossover treatment of non-responders
659
Fex 60 mg 2 x sehari
Lor 10 mg/ hari
Fase 1: 14
Fase 2: 16
Pasien dan dokter menentukan total keparahan gejala
 
Fase 1 - Lor > Fex (pasien); Lor = Fex (dokter) Fase 2 - Lor = Fex (pasien &dokter)
Howarth, et al.( J Allergy Clin Immunol 1999;104(5):927)
SAR
Studi acak dan double blind
722
Fex 120 mg/hari
Fex 180 mg/hari
Cet 10 mg/ hari
Pla /hari
14
Skor total gejala
Fex 120 = Fex 180 = Cet > Pla
Day, et al.( Allergy Clin Immunol 1998;101(5):638-645)
SAR
Studi acak, double blind, allergen exposure unit
202
Cet 10 mg/hari
Lor 10 mg/hari Placebo/ hari
2
Skor lengkap gejala utama dan total pada pasien.
Cet > Lor = Pla
Druce, et al. (J Clin Pharmacol 1998;38(4):382-389)
AR
Acak dan double blind
338
Bro 12 mg 2 x sehari
Lor 10 mg/hari
Pla  2 x sehari
7
Gejala global oleh peneliti dan subjek
 
Bro > Lor > Pla
Berger et al. (Ann Allergy Asthma Immunol 1999;82(6):535-541 )
SAR
Acak dan double blind
 
1070
Lor 10 mg/ hari plus Bec 2 semprot tiap hidung 2 kali sehari
Aze 2 semprot tiap hidung 2 kali sehari
7
Pengamatan dokter akan kebutuhan obat tambahan untuk rhinitis alergi, pengamatan global gejala pasien
 
Aze = Lor + Bec
Sienra-Monge, et al. (Am J Ther 1999;6(3):149-155 )
PAR
Double blind, randomized, longitudinal
80 (anak 2-6 tahun)
Cet 0.2 mg/kg per hari
Lor 0,2 mg/kg per hari
28
Tes histamine kulit, jumlah eusinofil, pengamatan gejala total oleh pasien dan dokter
 
Cet > Lor (wheal response)
Cet = Lor (jumlah eusinofil)
Cet = Lor (gejala)
Breneman (Ann Pharmacother 1996;30(10):1075-1079)
CIU
Acak, double blind, dan allergy practice settings
188
Cet 10 mg/hari
Hyd 25 mg/3 x sehari
Pla
28
Pengamatan gejala oleh peneliti dan pasien
 
Cet = Hyd > Pla
Monroe, et al.( Arzneimittel-Forschung 1992;42(9):1119-11121)
CIU
Acak dan double blind.
203
Lor 10 mg/hari
Hyd 25 3 x sehari
12
Pengamatan gejala oleh dokter dan pasien
 
Lor = Hyd > Pla
(a) PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, AR = allergic rhinitis, CIU = chronic idiosyncratic urticaria
(b) Cet = cetirizine, Lor = loratadine, Pla = placebo, Fex = fexofenadine, Bro = brompheniramine, Bec = beclomethasone, Aze = Azelastine, Hyd = hydroxyzine,
 
Strategi AM-PM
Keputusan untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi semisal rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik harus berdasarkan pada harga, frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi, dan efek samping. Semua antihistamin generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan OTC dengan harga lebih murah. Namun tidak demikian halnya dengan antihistamin generasi kedua dan ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan.
 
Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi pertama. Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif, hanya dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek fexofenadine, diphenhydramine, alkohol, dan placebo terhadap kemampuan mengendarai. Subjek yang memperoleh  fexofenadine mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang subjek yang menerima diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti dengan subjek yang menerima alkohol.
 
The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and Immunology menekankan bahwa efek sedasi dan gangguan performance dari antihistamin generasi pertama adalah berisiko baik untuk individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi rhinitis alergi dan gangguan alergi kronis lainnya direkomendasikan  suatu strategi baru, yakni terapi antihistamin“AM/PM”. Penderita diberikan  antihistamin generasi kedua dan ketiga yang lebih sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya sebelum pemberian antihistamin generasi pertama. Jadi, dosis siang hari generasi kedua dan ketiga, sedangkan dosis malam hari diberikan generasi pertama. Selain bisa mengoptimalkan terapi dengan efek samping minimal, strategi ini juga lebih murah karena tetap bisa menggunakan antihistamin generasi pertama yang lebih murah.

Ref :  Majalah Farmacia Edisi Desember 2006

Minggu, 30 September 2012

LEUKEMIA

Leukemia dikenal dengan kanker darah yang terjadi sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia memengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.

Tipe Leukemia
 1. Leukemia Akut, bila tanpa pengobatan waktu hidup penderita dalam hitungan minggu.
 2. Leukemia Kronis, bila tampa pengobatan waktu hidup penderita dalam hitungan tahun.

Tipe sel yang terlibat : Limfoid dan Mieloid
 a. Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia limfositik.
 b. Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil dan eosinofil, maka disebut leukemia   mielositik.

Penyebab Leukemia
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang dapat memengaruhi frekuensi leukemia, seperti:

Radiasi
  • Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia
  • Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia
  • Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
Faktor leukemogenik 
Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat memengaruhi frekuensi leukemia:
  • Racun lingkungan seperti benzena
  • Bahan kimia industri seperti insektisida
  • Obat untuk kemoterapi
Herediter
Penderita Down Syndrom memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal.
 
Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.
 
 

Kamis, 29 Maret 2012

Identifikasi dan Penetapan Kadar Larutan Topikal Klotrimazol




A.      Bahan Baku Klotrimazol


Gambar 1. Struktur Klotrimazol

Klotrimazol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C22H17CLN2 dihitung terhadap zat telah dikeringkan.
                            
Pemerian :
Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat. Melebur pada suhu lebih kurang 142°, disertai peruraian.

Kelarutan Praktis :
Tidak larut dalam air, mudah larut dalam metanol, dalam aseton, dalam kloroform dan etanol.

Baku pembanding
Klotrimazol BPFI lakukan pengeringan pada suhu 105oC selama 2 jam sebelum digunakan; a(o-Kloramfenil)difenilmetanol BPFI tidak boleh dikeringkan sebelum digunakan. Imidazol BPFI tidak boleh dikeringkan sebelum digunakan.

Identifikasi
1.      Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan didispersikan dalam minyak mineral P, menunjukan maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada Klotrimazol BPFI.
2.      Memenuhi Identifitas secara Kromatografi Lapis Tipis. Lakukan penetapan menggunakan larutan mengandung lebih kurang 20 mg per ml kloroform P sebagai larutan uji. Gunakan fase gerak campuran cilena P-n- propanol P-amonium hidroksida P (180:20:1).

Susut Pengeringan
Tidak lebih dari 0,5% lakukan pengeringan pada suhu 105oC  selama 2 jam.

Sisa Pemijaran
Tidak lebih dari 0,1%.

Penetapan Kadar
Ø  Lakukan penetapan kadar dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi.
Ø  Larutan kalium fosfat dibasa. Larutkan 4,35 g kalium fosfat dibasa dalam air hingga 1000 ml.
Ø  Fase gerak : buat campuran metanol P-Larutan kalium fosfat dibasa (3:1), saring melalui penyaring membran dengan porositas 0,2 µm atau lebih halus. Perbandingan volume dapat disesuaikan untuk memperoleh resolusi yang dikehendaki.
Ø  Larutan baku internal
Timbang lebih kurang 33 mg testosteron propionat, masukan kedalam labu terukur 200 ml larutkan dalam 125 ml metanol P, tambahankan 50 ml larutan kalium fosfat dibasa dan encerkan dengan metanol P sampai tanda.
Ø  Larutan Baku :
Timbang seksama lebih kurang 50 mg Klotrimazol BPFI masukan kedalam labu terukur 50 ml, larutkan dalam 25 ml metanol P. Tambahkan 12,5 ml larutan kalium fosfat dibasa dan encerkan dengan metanol P sampai tanda.
Ø  Enceran Larutan Baku
Masukan 10,0 ml larutan baku kedalam labu terukur 100 ml, tambahkan 4,0 ml. Larutan baku internal, encerkan dengan fase gerak sampai tanda.
Ø  Larutan resolusi
Masukkan 3 ml larutan baku dan 5 ml larutan baku pada penetapan (o-klorofenil)difenilmetanol ke dalam labu terukur 25 ml encerkan dengan fase gerak sampai tanda.

Ø  Larutan uji
Timbang seksama lebih kurang 100 mg, masukkan kedalam labu terukur 10 ml larutkan dalam metanol 5 ml tambahkan 2,5ml larutan kalium fosfat dibasa encerkan dengan metanol P sampai tanda.
Ø  Enceran Larutan uji
Masukan 1,0 ml larutan uji ke dalam labu ukur 100 ml tambahkan 4,0 ml larutan baku internal encerkan dengan fase gerak sampai tanda.
Ø  Sistem kromatografi
Lakukan seperti yang tertera pada kromatografi. Kromatograf cair kinerja tinggi dilengkapi dilengkapi dengan detektor 254nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L1 dengan ukuran partikel 10 µl. Laju aliran lebih kurang 1,5 ml per menit. Lakukan kromatografi terhadap larutan resolusi dan enceran larutan baku, rekaman respon puncak seperti yang tertera pada prosedur : resolusi, R antara puncak klotimazol dan (0-klorofenil)difenilmetanol tidak kurang dari 1,9 dan simpangan baku relatif pada penyuntikan ulang Enceran larutan baku tidak lebih dari 2,0%. Waktu retensi relatif (o-klorofenil)difenilmetanol, klotrimazol dan testosteron propionat masing-masing adallah lebih kurang 0,7 ; 1,0 dan 1,5.
Ø  Prosedur
Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang 20µl) Enceran larutan baku dan enceran larutan uji kedalam kromatografi, rekam kromatogram, ukur respons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg, C22H17ClN2dalam klotrimazol yang digunakan pada pembuatan Enceran larutan uji.