Antihistamin H1 yang lebih spesifik memperbaiki modalitas terapi.
Antihistamin H1 merupakan
salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta
ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini
menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam
penggolongan antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist
bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun
memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik
(efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu
antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor
atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.
Penemuan modus operandi antihistamin H1
yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan untuk pemberian
obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan identifikasi serta
pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya antihistamin dikelompokkan
menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin,
etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan
antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya
menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih
dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang
ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam
dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan
menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan
generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem
saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu,
generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein
plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan
derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan
fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi
ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih
baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya,
fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah
dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan
levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan
dengan cetrizine atau loratadine.
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1
ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan
relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara klinis,
antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara
itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi
yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga
bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih
minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi
tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru
ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat
influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau
menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini
menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan
prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro
desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi
menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator
inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas
anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang
mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa
memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies.
Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan
kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri
dari efek tambahan ini.
Nasib Antihistamin H1 dalam Tubuh
Pemberian antihistamin H1
secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak
plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar
antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system.
Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal
menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati.
Waktu
paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu
paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu
paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya,
seperti astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole,
memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan
kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya dalam
darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1
menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua,
pasien disfungsi hati, danm pasien yang menerima ketokonazol,
eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya.
Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor,
alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan
sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan
prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi.
Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness.
Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi
umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai
anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.
Table 1. Indikasi Generasi Pertama yang Diakui FDA
| ||||||
Drug Name
|
Batas Usia
|
Indikasi
|
Kategori Kehamilan
| |||
Azatadine
|
> 12 tahun
|
PAR, SAR, CU
|
B
| |||
Azelastine
|
> 3 tahun
|
PAR, SAR, VR, AC
|
C
| |||
Brompheniramine
|
> 6 tahun
|
AR, HR Type 1
|
C
| |||
Chlorpheniramine
|
> 2 tahun
|
AR
|
B
| |||
Clemastine
|
> 6 tahun
|
PAR, SAR, CU
|
B
| |||
Cyproheptadine
|
> 2 tahun
|
PAR, SAR, CU
|
B
| |||
Dexchlorpheniramine
|
> 2 tahun
|
PAR, SAR, CU
|
B
| |||
Hydroxyzine
|
Bisa diberikan < 6 tahun
|
Pruritus, sedasi, analgesia, anti-emetik
|
C
| |||
Promethazine
|
> 2 years old
|
HR Type 1, Sedation, Motion sickness, Analgesia
|
C
| |||
Tripelennamine
|
> 1 bulan
|
PAR, SAR, CU
|
B
| |||
*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR
= seasonal allergic rhinitis, CU = chronic urticaria, HR Type 1 =
hypersensitivity reaction type 1, AR = allergic rhinitis, VMR =
vasomotor rhinitis, AC = allergic conjunctivitis
| ||||||
Table 2. Indikasi Antihistamin Generasi II & III yang diakui FDA
| ||||||
Nama Obat
|
Batas Usia
|
Indikasi
|
Kategori Kehamilan
| |||
Cetirizine
|
> 2 tahun
|
PAR, SAR, CIU
|
B
| |||
Fexofenadine
|
> 6 tahun
|
SAR, CIU
|
C
| |||
Loratadine
|
> 2 tahun
|
SAR, CIU
|
B
| |||
Desloratadine
|
> 12 tahun
|
PAR, SAR, CIU
|
C
| |||
*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CIU = chronic idiopathic urticaria
| ||||||
Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural.
Efek Samping
Antihistamin Generasi Pertama:
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat - drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat - drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4. Gastrointestinal - epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5. Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)
5. Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)
Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga):
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori** - mulut kering
4. Gastrointestinal** - nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori** - mulut kering
4. Gastrointestinal** - nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
*Efek
samping SSPsebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine
yang tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan
generasi pertama. **Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal
lebih jarang dibanding generasi pertama.
Interaksi Obat
Precipitant Drug
|
Object Drug
|
Effect
|
Antihistamin
|
Alkohol, depresan SSP
|
Menambah efek depresan SSP dan efek lebih kecil pada antihistamin generasi kedua dan ketiga.
|
Antifungi Azole dan Antibiotik Makrolida :
azithromycin, clarithromycin, erythromycin, fluconazole, itraconazole, ketoconazole, miconazole |
loratadine, desloratadine
|
Meningkatkan kadar plasma object drug
|
Cimetadine
|
loratadine
|
Meningkatkan kadar plasma object drug
|
Levodopa
|
promethazine
|
Menurunkan efek levodopa
|
MAOIs:
phenelzine, isocarboxazid, tranylcypromine |
Antihistamin generasi pertama
|
Bisa memperlama dan memperkuat efek
antikolinergik dan sedative antihistamin, sehingga bisa terjadi
hipotensi dan efek samping ekstrapiramidal
|
Protease Inhibitors:
ritonavir, indinavir, saquinavir, nelfinavir |
Antihistamin generasi pertama, loratadine
|
Meningkatkan kadar plasma object drug
|
Serotonin Reuptatke Inhibitors (SSRIs):
fluoxetine, fluvoxamine, nefazodone, paroxetine, sertraline |
Antihistamin generasi pertama
|
Meningkatkan kadar plasma object drug
|
Efikasi Klinis
Table 5. Efikasi Antihistamin
| ||||||
Studi/Ind
ikasi (a)
|
Design studi
|
Jumlah Sampel
|
Grup Terapi
|
Lama (hari)
|
Penentuan efikasi
|
Hasil (b)
|
Meltzer, et al.( J Allergy Clin Immunol 1996;97(2):617-626)
SAR |
Studi acak, double blind, Alergi musim semi, outdoor.
|
279
|
-Cet 10 mg /hari
-Lor 10 mg /hari -Pla /hari |
2
|
Skor lengkap gejala utama dan total pada pasien.
|
Cet > Lor = Pla
|
Prenner, et al.( Clin Ther 2000;22(6):760-769)
SAR |
Acak, double blind, 2 fase, crossover treatment of non-responders
|
659
|
Fex 60 mg 2 x sehari
Lor 10 mg/ hari |
Fase 1: 14
Fase 2: 16 |
Pasien dan dokter menentukan total keparahan gejala
|
Fase 1 - Lor > Fex (pasien); Lor = Fex (dokter) Fase 2 - Lor = Fex (pasien &dokter)
|
Howarth, et al.( J Allergy Clin Immunol 1999;104(5):927)
SAR |
Studi acak dan double blind
|
722
|
Fex 120 mg/hari
Fex 180 mg/hari Cet 10 mg/ hari Pla /hari |
14
|
Skor total gejala
|
Fex 120 = Fex 180 = Cet > Pla
|
Day, et al.( Allergy Clin Immunol 1998;101(5):638-645)
SAR |
Studi acak, double blind, allergen exposure unit
|
202
|
Cet 10 mg/hari
Lor 10 mg/hari Placebo/ hari |
2
|
Skor lengkap gejala utama dan total pada pasien.
|
Cet > Lor = Pla
|
Druce, et al. (J Clin Pharmacol 1998;38(4):382-389)
AR |
Acak dan double blind
|
338
|
Bro 12 mg 2 x sehari
Lor 10 mg/hari Pla 2 x sehari |
7
|
Gejala global oleh peneliti dan subjek
|
Bro > Lor > Pla
|
Berger et al. (Ann Allergy Asthma Immunol 1999;82(6):535-541 )
SAR |
Acak dan double blind
|
1070
|
Lor 10 mg/ hari plus Bec 2 semprot tiap hidung 2 kali sehari
Aze 2 semprot tiap hidung 2 kali sehari |
7
|
Pengamatan dokter akan kebutuhan obat tambahan untuk rhinitis alergi, pengamatan global gejala pasien
|
Aze = Lor + Bec
|
Sienra-Monge, et al. (Am J Ther 1999;6(3):149-155 )
PAR |
Double blind, randomized, longitudinal
|
80 (anak 2-6 tahun)
|
Cet 0.2 mg/kg per hari
Lor 0,2 mg/kg per hari |
28
|
Tes histamine kulit, jumlah eusinofil, pengamatan gejala total oleh pasien dan dokter
|
Cet > Lor (wheal response)
Cet = Lor (jumlah eusinofil) Cet = Lor (gejala) |
Breneman (Ann Pharmacother 1996;30(10):1075-1079)
CIU |
Acak, double blind, dan allergy practice settings
|
188
|
Cet 10 mg/hari
Hyd 25 mg/3 x sehari Pla |
28
|
Pengamatan gejala oleh peneliti dan pasien
|
Cet = Hyd > Pla
|
Monroe, et al.( Arzneimittel-Forschung 1992;42(9):1119-11121)
CIU |
Acak dan double blind.
|
203
|
Lor 10 mg/hari
Hyd 25 3 x sehari |
12
|
Pengamatan gejala oleh dokter dan pasien
|
Lor = Hyd > Pla
|
(a) PAR = perennial allergic rhinitis,
SAR = seasonal allergic rhinitis, AR = allergic rhinitis, CIU = chronic
idiosyncratic urticaria
(b) Cet = cetirizine, Lor = loratadine, Pla = placebo, Fex = fexofenadine, Bro = brompheniramine, Bec = beclomethasone, Aze = Azelastine, Hyd = hydroxyzine, |
Strategi AM-PM
Keputusan
untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi
semisal rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik harus
berdasarkan pada harga, frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi,
dan efek samping. Semua antihistamin generasi pertama kini telah ada
dalam sediaan generik serta sediaan OTC dengan harga lebih murah. Namun
tidak demikian halnya dengan antihistamin generasi kedua dan ketiga.
Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan.
Meski
sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara
klinis menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik
dari generasi pertama. Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah
subjektif, hanya dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti
klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek fexofenadine, diphenhydramine,
alkohol, dan placebo terhadap kemampuan mengendarai. Subjek yang
memperoleh fexofenadine mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang
subjek yang menerima diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai
paling buruk, diikuti dengan subjek yang menerima alkohol.
The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and Immunology
menekankan bahwa efek sedasi dan gangguan performance dari antihistamin
generasi pertama adalah berisiko baik untuk individu maupun masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mengatasi rhinitis alergi dan gangguan alergi
kronis lainnya direkomendasikan suatu strategi baru, yakni terapi
antihistamin“AM/PM”. Penderita diberikan antihistamin generasi kedua
dan ketiga yang lebih sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya
sebelum pemberian antihistamin generasi pertama. Jadi, dosis siang hari
generasi kedua dan ketiga, sedangkan dosis malam hari diberikan generasi
pertama. Selain bisa mengoptimalkan terapi dengan efek samping minimal,
strategi ini juga lebih murah karena tetap bisa menggunakan
antihistamin generasi pertama yang lebih murah.
Ref : Majalah Farmacia Edisi Desember 2006